Kelola Kawasan Karst, Pemerintah Harus Punya Kajian Lingkungan Hidup Menyeluruh
Selasa, 30 Agustus 2016
Kelola Kawasan Karst, Pemerintah Harus Punya Kajian Lingkungan Hidup Menyeluruh - Halo sobat pengunjung setia Artikel Tutorial semuanya. Selamat datang saya ucapkan diblog kebanggaan saya yang sederhana ini yaitu www.artikeltutorial.com. Blog ini akan selalu update setiap harinya yang memberikan anda Informasi dan Artikel menarik, bukan hanya itu blog ini juga berisi berbagai Tips dan Tutorial. Silakan simpan alamat blog www.artikeltutorial.com atau Anda bisa bookmark (masukan ke penanda) agar bisa mengunjungi lain waktu ke blog ini dengan mudah."Prolog dari Artikel Tutorial sekaligus salam kenal kepada pengunjung setia www.artikeltutorial.com semuanya".
Presiden Joko Widodo pada Selasa, (2/8/16) di Istana Negara, Jakarta, menemui perwakilan masyarakat Kendeng. Sekitar 18 perwakilan masyarakat menyampaikan keluhan terkait polemik pendirian pabrik semen dan eksploitasi Gunung Kapur, Pati, Jawa Tengah.
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki, mengatakan, Presiden menawarkan solusi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk melihat kelayakan pengelolaan kawasan.
“Presiden menyepakati dibuat KLHS supaya bisa diketahui mana yang bisa eksploitasi, mana yang tidak,” katanya.
Menanggapi ini, Dr. Cahyo Rahmadi, Presiden Indonesia Speleology Society (ISS) mengatakan, upaya Presiden mendorong KLHS harus melihat aspek endokarst—yang terkadang tak diperhatikan sebagai fungsi ekosistem karst utuh.
Dalam penyusunan, katanya, harus ada keterlibatan lintas kementerian dan masyarakat terdampak. Semua pihak, katanya, harus andil sejak dalam perencanaan. “Tak ada ke depan KLHS versi A dan KLHS versi B.”
Sepanjang berpijak pada kaidah keilmuan, fakta dan data ilmiah dan kesimpulan disokong argumen ilmiah, katanya, hasil kajian seharusnya bisa diterima sebagai acuan pengelolaan karst.
Permasalahan karst dan industri semen muncul, katanya, karena batugamping dan karst, hanya dipandang sebagai potensi tambang bukan ekosistem penyangga termasuk soal ketersediaan air sampai jasa lingkungan.
“Pembangunan infrastruktur memang perlu semen. Apa betul industri semen yang ada tak mampu menyokong percepatan infrastruktur 10 tahun ke depan. Sampai-sampai pabrik-pabrik baru berlomba-lomba dibuka terutama di Jawa?” tanyanya.
Ancaman terbesar di Jawa, katanya, kondisi karst dari Banten sampai Jawa Timur tereskploitasi padahal kawasan itu penyangga demi ketersediaan air.
“Ketika pemerintah punya kebijakan menarik investor industri semen besar di Jawa, itu kesalahan. Harus dihentikan.”
Tanpa kehadiran industri semen saja, katanya, daya dukung ekosistem Jawa, sudah sangat rentan. Bencana lingkungan terjadi di mana-mana seperti banjir, longsor dan kekeringan.
“Jawa sudah tak layak buat investasi semen. Pemerintah harus tegas memikirkan ini.”
Dia mengingatkan, industri semen jangan sampai mengorbankan fungsi karst– yang jelas tak memungkinkan diperbarui jika sudah rusak. Terlebih, kondisi lingkungan terus merosot karena tekanan dari berbagai sisi.
“Apa kita harus diam ketika air dari dalam tanah mengering, mengancam sumber air warga, lahan pertanian, konon menjadi ujung tombak ketahanan pangan, juga indikator daya saing bangsa.”
Kepala Kantor Staf Kepresidenan Teten Masduki, mengatakan, Presiden menawarkan solusi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk melihat kelayakan pengelolaan kawasan.
“Presiden menyepakati dibuat KLHS supaya bisa diketahui mana yang bisa eksploitasi, mana yang tidak,” katanya.
Menanggapi ini, Dr. Cahyo Rahmadi, Presiden Indonesia Speleology Society (ISS) mengatakan, upaya Presiden mendorong KLHS harus melihat aspek endokarst—yang terkadang tak diperhatikan sebagai fungsi ekosistem karst utuh.
Dalam penyusunan, katanya, harus ada keterlibatan lintas kementerian dan masyarakat terdampak. Semua pihak, katanya, harus andil sejak dalam perencanaan. “Tak ada ke depan KLHS versi A dan KLHS versi B.”
Sepanjang berpijak pada kaidah keilmuan, fakta dan data ilmiah dan kesimpulan disokong argumen ilmiah, katanya, hasil kajian seharusnya bisa diterima sebagai acuan pengelolaan karst.
Permasalahan karst dan industri semen muncul, katanya, karena batugamping dan karst, hanya dipandang sebagai potensi tambang bukan ekosistem penyangga termasuk soal ketersediaan air sampai jasa lingkungan.
“Pembangunan infrastruktur memang perlu semen. Apa betul industri semen yang ada tak mampu menyokong percepatan infrastruktur 10 tahun ke depan. Sampai-sampai pabrik-pabrik baru berlomba-lomba dibuka terutama di Jawa?” tanyanya.
Ancaman terbesar di Jawa, katanya, kondisi karst dari Banten sampai Jawa Timur tereskploitasi padahal kawasan itu penyangga demi ketersediaan air.
“Ketika pemerintah punya kebijakan menarik investor industri semen besar di Jawa, itu kesalahan. Harus dihentikan.”
Tanpa kehadiran industri semen saja, katanya, daya dukung ekosistem Jawa, sudah sangat rentan. Bencana lingkungan terjadi di mana-mana seperti banjir, longsor dan kekeringan.
“Jawa sudah tak layak buat investasi semen. Pemerintah harus tegas memikirkan ini.”
Dia mengingatkan, industri semen jangan sampai mengorbankan fungsi karst– yang jelas tak memungkinkan diperbarui jika sudah rusak. Terlebih, kondisi lingkungan terus merosot karena tekanan dari berbagai sisi.
“Apa kita harus diam ketika air dari dalam tanah mengering, mengancam sumber air warga, lahan pertanian, konon menjadi ujung tombak ketahanan pangan, juga indikator daya saing bangsa.”
Menurut Cahyo, solusi terbaik dengan mengkaji semua aspek penting ekosistem karst, guna memastikan ketersediaan air.
Polemik pertambangan semen muncul, katanya, antara lain karena dalam penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tanpa melibatkan masyarakat.
“Kita lihat di Pati, Rembang dan Gombong, dokumen Amdal belum menyentuh substansi yang ditimbulkan aktivitas pertambangan.”
Industri semen, katanya, mengklaim pakai metode ramah lingkungan. Namun, katanya, yang namanya eksploitasi tambang, baik batubara, karst dipastikan tak bisa diperbaharui.
“Tak bisa memberikan justifikasi ramah lingkungan, karena ketika bicara karst, dimana ada bukit karst, disitu berfungsi penyerap dan penyimpan air.”
“Hanya klaim ramah lingkungan, jangka panjang karst tak bisa diperbaharui. Dihijaukan bisa, tetapi kemampuan menyerap dan menyimpan tak bisa kembali.”
Dia mencontohkan, dalam izin usaha pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia, dalam dokumen Amdal, 40% tangkapan air di wilayah IUP. IUP berpotensi dibuka.
“Jika daerah itu hilang, darimana mata air masyarakat? Dimana ramah lingkunganya? Mata air akan hilang. Itu analogi paling gampang.”
Meskipun begitu, katanya, perlu bersama-sama duduk bareng. “Bicara dengan data. Akhirnya peran pemerintah yang bisa menahan lajunya.”
Moratorium izin tambang di karst
Cahyo menyarankan, pemerintah memoratorium izin tambang karst. “Perhatikan izin yang belum keluar. Jika baru usulan, hentikan.”
Terpenting, katanya, jika masyarakat di karst menjadi prioritas kebijakan pemerintah, mau tak mau harus ada moratorium tambang karst.
Aturan ekosistem karst mendesak
Hingga kini, Peraturan Pemerintah soal perlindungan dan pengeloaan ekosistem karst belum selesai padahal pembahasan sudah bertahun-tahun.
Cahyo mengatakan, memastikan ekosistem karst terjaga perlu produk hukum kuat. KLHK, katanya, sudah menyusun RPP karst belum juga selesai.
“Proses sudah cukup lama. RPP ini bisa melindungi fungsi karst sebagai penyangga kehidupan,” katanya.
Pemerintah, katanya, harus segera menetapkan zonasi, mana kawasan karst lindung dan budidaya. “Kajian itu harus dengan payung hukum PP karst, lalu pemetaan secara komprehensif.”
Polemik pertambangan semen muncul, katanya, antara lain karena dalam penyusunan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) tanpa melibatkan masyarakat.
“Kita lihat di Pati, Rembang dan Gombong, dokumen Amdal belum menyentuh substansi yang ditimbulkan aktivitas pertambangan.”
Industri semen, katanya, mengklaim pakai metode ramah lingkungan. Namun, katanya, yang namanya eksploitasi tambang, baik batubara, karst dipastikan tak bisa diperbaharui.
“Tak bisa memberikan justifikasi ramah lingkungan, karena ketika bicara karst, dimana ada bukit karst, disitu berfungsi penyerap dan penyimpan air.”
“Hanya klaim ramah lingkungan, jangka panjang karst tak bisa diperbaharui. Dihijaukan bisa, tetapi kemampuan menyerap dan menyimpan tak bisa kembali.”
Dia mencontohkan, dalam izin usaha pertambangan (IUP) PT Semen Indonesia, dalam dokumen Amdal, 40% tangkapan air di wilayah IUP. IUP berpotensi dibuka.
“Jika daerah itu hilang, darimana mata air masyarakat? Dimana ramah lingkunganya? Mata air akan hilang. Itu analogi paling gampang.”
Meskipun begitu, katanya, perlu bersama-sama duduk bareng. “Bicara dengan data. Akhirnya peran pemerintah yang bisa menahan lajunya.”
Moratorium izin tambang di karst
Cahyo menyarankan, pemerintah memoratorium izin tambang karst. “Perhatikan izin yang belum keluar. Jika baru usulan, hentikan.”
Terpenting, katanya, jika masyarakat di karst menjadi prioritas kebijakan pemerintah, mau tak mau harus ada moratorium tambang karst.
Aturan ekosistem karst mendesak
Hingga kini, Peraturan Pemerintah soal perlindungan dan pengeloaan ekosistem karst belum selesai padahal pembahasan sudah bertahun-tahun.
Cahyo mengatakan, memastikan ekosistem karst terjaga perlu produk hukum kuat. KLHK, katanya, sudah menyusun RPP karst belum juga selesai.
“Proses sudah cukup lama. RPP ini bisa melindungi fungsi karst sebagai penyangga kehidupan,” katanya.
Pemerintah, katanya, harus segera menetapkan zonasi, mana kawasan karst lindung dan budidaya. “Kajian itu harus dengan payung hukum PP karst, lalu pemetaan secara komprehensif.”
Sumber : mongabay.co.id